Jumat, 16 September 2011


Contoh Artikel Lingkungan Hidup | Contoh Artikel Bencana Alam

Contoh Artikel Lingkungan Hidup | Contoh Artikel Bencana Alam - Contoh ArtikelBencana Alam, Contoh-contoh artikel koran, koran, pencemaran lingkungan:


Contoh Artikel Bencana Alam:
Ada sekitar 28 tenaga kerja Indonesia (TKI) yanh bekerja sebagai perawat (nurse) dan pekerja perawat (care workers) di daerah tsunami Jepang. 15 Di antaranya belum bisa dikontak.

Crisis Centre Kemenakertrans untuk Tsunami Jepang menyatakan hal itu dalam rilisnya berdasarkan hasil pantauan dari Japan International Corporation of Welfare Services (JICWELS) pada pukul 09.30 WIB, Minggu (13/3/2011).

Mereka tersebar di beberapa prefektur yang terkena tsunami, sebagai berikut:

1. Miyagi (jumlah nurse 3 dan careworkers 6 orang)
2. Iwate (careworkers 2)
3. Fukushima (nurse 4)
4. Aomori (nurse 4 dan careworkers 9)

"Khusus di Prefektur Aomori semua selamat dan berada di rumah sakit dan panti jompo. Sedangkan di tiga prefektur lain komunikasi belum dapat dilakukan karena jaringan rusak sehingga situasinya belum terpantau jelas," jelas Crisis Center Kemenakertrans.

Tim evakuasi KBRI telah tiba melalui jalur darat ke daerah bencana dan pihak JICWELS akan tetap memantau dan menyampaikan laporan keadaan TKI di 3 daerah.

Perkembangan terakhir tentang para nurse dan careworkers akan dipantau terus. Kemenakertrans membuka Crisis Centre Tsunami Jepang di nomor 0815 744 7776, 0816 164 2613, 0815 187 3081 dan 0815 187 3081. Juga dapat dibuka website www.pemagangan.com.


Contoh Artikel Koran:
Membunuh Media, Mencederai Warga
Ditulis oleh Bimo Nugroho
Senin, 06 September 2004 00:00
Sumber: Opini - Koran Tempo

Apakah kita memiliki kebebasan? Apakah kita merasa memiliki kebebasan? Apakah kita cuma seolah-olah merasa memiliki kebebasan?
Kebebasan secara esensial membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Oleh karena itu, kebebasan menjadi asasi manusia, baik hak maupun kewajiban. Jadi, jawaban atas pertanyaan pertama menjadi haqul mutlak adanya: ya, kita memiliki kebebasan.

Apakah kita merasa memilikinya atau tidak, itu ditentukan oleh tingkat kesadaran sosial-politik tiap individu. Maka, muncullah gradasi kebebasan yang perbedaannya secara halus dipengaruhi oleh pendidikan, bacaan, dan pergaulan seseorang. Orang berjuang keras supaya berpendidikan, kaya, dan punya jaringan luas, ujung-ujungnya toh, memperbanyak pilihan untuk bebas. Sebaliknya, orang bisa mengabaikan sekolah, kekayaan, dan koneksi luas, karena ia merasa tanpa itu semua ia sudah menjadi manusia bebas. Kekayaan dan kekuasaan tidak mempunyai nilai ketika keduanya tak menambah pilihan bebas. 

Bahkan kekayaan dan kekuasaan bisa menjadi mengerikan tatkala menindas kebebasan.
Pada saat manusia menindas kebebasan, pada titik itulah sesungguhnya ia cuma seolah-olah merasa memiliki kebebasan. Ini adalah sebuah kesadaran palsu. Sebab, ketika ia membunuh kebebasan, setali tiga uang pula ia sedang mencederai kemanusiaannya.
Kasus Bambang Harymurti

Pengadilan atas Bambang Harymurti dan dua wartawan Tempo hari ini, juga peristiwa-peristiwa yang menimpa lembaga pers lainnya seperti majalah Trust, harian Rakyat Merdeka, dan Jawa Pos, bukanlah semata-mata kasus hukum, melainkan terlebih merupakan kasus pembunuhan atas kebebasan dan pencederaan terhadap asasi kemanusiaan. Mengapa demikian?

filsafat kebebasan dengan kata-kata yang sederhana dalam tulisan yang singkat ini. Tugas jurnalis sama dengan tugas dokter, yaitu menyelamatkan manusia untuk hidup bebas. Dokter memeriksa, menelisik, dan memberi obat, bahkan bila perlu melakukan operasi bedah. Jurnalis mewawancara, mencari, dan memberi informasi, bahkan bila perlu melakukan investigasi. Dokter mempunyai prosedur standar kerja dan kode etik, jurnalis pun wajib bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode etiknya. Jika tidak, keduanya bisa dituduh malapraktek dan dipecat dari profesinya.

Apakah dengan mengikuti prosedur standar dan kode etiknya, dokter dan jurnalis dipastikan dapat menyelamatkan manusia untuk hidup bebas? Apakah dokter yang baik pasti menjamin pasiennya tak akan mati? Apakah wartawan yang baik pasti menjamin khalayak mendapat informasi yang tak terbantahkan? Belum tentu. Pasien mungkin mati dan informasi bisa salah. Tetapi, dokter dan jurnalis tak bisa dihukum jika ia sudah bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode etiknya.

Siapa yang mau jadi dokter dan jurnalis jika dalam setiap proses kerjanya bisa diganggu gugat atau dikriminalisasi? Setiap intervensi dari siapa pun terhadap kerja mereka justru bisa mengacaukan hasil dan independensi pekerjaannya. Di situlah dokter dan jurnalis mempunyai kebebasan otonom dalam kerja profesinya. Kebebasan itu diberikan bukan untuk enak-enakan, kerja semaunya, melainkan demi menjamin kemaslahatan hidup manusia.

Nah, bagaimana jika semua standar kerja dan kode etik sudah diikuti, toh pasien mati atau berita ternyata salah? Pergulatan manusia dengan kebebasan telah menemukan sebuah konsep yang dikenal luas: kebebasan memperoleh informasi. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan klaim atas kebenaran informasi, dan dokter atau jurnalis wajib memberikan jawaban kepada pihak yang berhak tersebut.

Indonesia belum memiliki UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan lembaga yang memfasilitasi warga seperti Komisi Informasi. Tetapi, ada Ikatan Dokter Indonesia dan Dewan Pers yang bisa menjadi forum arbitrase untuk klaim atas kebenaran informasi.
Bila proses arbitrase ini dijalankan, khususnya untuk kasus pers, kita bisa meyakini bahwa sesungguhnyalah kita memiliki kebebasan pers dan memang merasa memiliki kebebasan pers. Sebaliknya, kriminalisasi pers dengan tuntutan di pengadilan hingga membunuh media (bahkan overkilling!) hanya menunjukkan kesadaran palsu akan kebebasan. 

Mereka yang melakukannya barangkali tak menyadari bahwa membunuh media berarti mencederai warga, termasuk kemanusiaannya sendiri.
Penulis mendukung pernyataan Komite Antikriminalisasi Pers yang meminta supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus Tempo membebaskan Bambang Harymurti dan dua jurnalisnya. Lebih dari sekadar persoalan Tempo, kasus ini, seperti halnya yang menimpa media-media lain, merupakan persoalan bersama dalam upaya menegakkan demokrasi dan kebebasan. 

Sebagai warga, kita telah dicederai karena media-media tak lagi bebas memberikan informasi yang kita butuhkan. Pilihan informasi yang kita punya pun makin terbatas.
Citizen Lawsuit, Sekali lagi sebagai warga, kita tak bisa membiarkan kasus-kasus kriminalisasi pers ini makin banyak dan makin merugikan publik. Bagaimana caranya? Paling tidak ada dua: cara preman dan cara nonpreman atau yang beradab.

Mau gunakan cara preman? O, gampang, pakai saja kekerasan, intimidasi, sabotase, bahkan kalau perlu gunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan, seperti provokasi-provokasi yang telah meluluhlantakkan berbagai wilayah negeri ini. Mau cara yang lebih halus, cari pengacara yang lincah, main suap jaksa dan hakim sehingga keputusan pengadilan bisa diatur. Di luar pengadilan, terbitkanlah media cetak atau curilah izin frekuensi untuk bikin radio atau TV yang isinya mendukung upaya kita menggebuk lawan. 

Tetapi, saudara-saudara, cara-cara preman tersebut justru akan menjauhkan kita dari kebebasan dan kemanusiaan kita sendiri. Jadi, tak usahlah dipakai karena hasilnya hanya akan menjadikan kita seolah-olah merasa memiliki kebebasan.
Bagaimana dengan jalan nonpreman? Dalam aktivitas penulis bersama beberapa program LBH Pers, ada salah satu alternatif jalan hukum yang bisa ditempuh untuk melawan kriminalisasi pers, yaitu Citizen Lawsuit. 

Sebagai warga negara kita bisa menuntut perubahan kebijakan yang wajib dilakukan oleh lembaga-lembaga negara untuk menghentikan kriminalisasi pers.
Sayang, tulisan ini punya keterbatasan ruang untuk menerangkan sisik-melik Citizen Lawsuit, tetapi pada intinya Anda bersama rekan-rekan Anda (termasuk saya) dapat meminta Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang mengikat jajaran hakim di seluruh Indonesia untuk menggunakan UU Pers Nomor 40/1999 sebagai aturan khusus dalam menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers.

UU Pers itu memang tidak sangat sempurna, tetapi paling tidak menjamin kita sebagai warga negara untuk mendapatkan informasi lewat pers. Dengan kebebasan pers, tidak berarti media dan pekerjanya bisa seenak-enaknya melansir berita karena ada standar kerja dan kode etik yang harus mereka ikuti. Jadi, kalaupun beritanya salah, kita bisa melakukan klaim lewat Dewan Pers, karena kita punya hak dan kebebasan untuk memperoleh informasi, tanpa harus membunuh medianya. Karena membunuh media berarti mencederai diri kita sendiri sebagai warga negara.
Itulah contoh-contoh artikel bencana alam dan contoh artikel koran.
Analogi kerja jurnalis seperti halnya kerja seorang dokter barangkali bisa menerjemahkan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar